Suatu saat ketika kita telah membulatkan tekad untuk memilih profesi atau berbisnis dalam dunia bidang fotografi, saat itu memang perlu bersikap, mulai mengkhususkan diri: kurang lebih aliran fotografi mana yang kita bidik. Rumus mencarinya: Minat dan antusias untuk menekuni secara mendalam yang berkesinambungan. Terutama ketika saraf rajin, pembuluh teliti, dan otot ulet kita diuji!
Misalnya kita berniat membuka wedding photo studio, maka pengetahuan mengenai tata lampu studio mutlak perlu dikuasai, termasuk mengarahkan pose-pose mesra yang sesuai dengan karakter klien, foto close up yang masih serumpun dengan fashion fotografi. Juga hal-hal yang kelihatan sepele tapi bisa jadi masalah besar jika terjadi lantaran ketidaktahuan, yaitu ‘etika-etika pergaulan yang beradab’, seperti aturan dalam mengatur pose, lebih-lebih lawan jenis, usahakan jangan sampai menyentuh bagian anggota tubuh manapun. Cukup arahkan dengan kata-kata atau peragaan, kalau mengatur tudung/waring (veil) atau ujung gaun pengantin agar terjuntai indah, sih ok. (Pelajaran pertama yang penulis terima ketika magang sebagai Wedding Photographer adalah mengatur gaun pengantin yang panjang-panjang, beserta asesoris lain: bunga tangan maupun perhiasan yang dikenakan kedua mempelai, semua harus rapi jali!) Dan kita perlu memahami psikologi sederhana cara pergaulan yang baik, terutama bagaimana bekerjasama dengan orang yang baru beberapa saat kita kenali. Sebaliknya Wedding Photographer yang tidak mengatur pose apapun bagi klien-nya, juga jangan deh, ini menunjukkan jam terbang yang masih pendek, ia perlu magang dulu dengan fotografer pengantin yang lebih senior! He he he...
Lain ceritanya kalau pilihan jatuh ke fotografer jurnalis. Kita pernah tercengang bukan, melihat di televisi bagaimana ‘kemelutnya’ para ‘Mat Kodak’ (istilah Ed Zoelverdi untuk Wartawan Foto), ketika memburu sumber berita yang kasusnya sedang heboh? Saking jengkelnya sang selebriti sampai menembakkan pistol ke udara untuk menghalau gerombolan ‘nyamuk-nyamuk pers’ yang mengerumuni dirinya!
Mirip dengan cerita Paparazy yang terpaksa melindungi wajah dan kepalanya dengan topi pemain softball, ketika akan memotret Marlon Brando (lagi), karena sebelumnya ia pernah babak belur dihajar oleh lelaki tangguh setinggi 2 meter lebih itu! Belasan tahun silam Mauro Carraro, Paparazy senior di kota London, dengan kamera Leica dan flash nya ‘menerjang’ apapun ketika mengejar anggota keluarga Kerajaan Inggris yang sedang dilanda ontran-ontran. Istilah mereka ‘The Jackpot Picture’, selembar foto heboh karya Mauro Carraro dihargai majalah gossip internasional sampai $ 170.000 ( + satu setengah milyar rupiah!).
Mat Kodak berusaha membawa perangkat kamera seringkas mungkin, sebab ia punya mobilitas tinggi. Manakala ada suatu adegan penting muncul di depan kamera, siapapun yang misalnya berdiri di posisi yang sama dengan Mat Kodak, ia bisa saja menekan tombol, dan klik! Maka ia mempunyai foto yang setali tiga uang dengan foto yang dibuat Mat Kodak. Tapi persoalannya bukan hanya di situ, di belakang fotografi jurnalis terdapat unsur-unsur pendukung sangat vital: bagaimana transportasi yang mengantarnya ke lokasi di ujung peritiwa, akomodasi selama bertugas, sarana pengiriman gambar ke kantor induk, perlukah kemampuan menulis berita? Atau didampingi penulis khusus? dan banyak lagi peng-organisasian yang perlu disiapkan Mat Kodak, termasuk yang tak kalah pentingnya: bagaimana keluar dengan selamat dari lokasi tugas, yang tak jarang merupakan daerah kritis. Sebelum meninggalkan kantor, editor Mat Kodak sering berteriak: “Hati-hati Bung! Kita perlu foto berita, bukan obituary!” (Obituary=berita duka/riwayat singkat dari seseorang yang meninggal dunia).
Setelah mengetahui beberapa kategori dalam fotografi, kita dapat lebih fokus kepada yang paling kita minati. Secara bertahap situs http://life-photoz.blogspot.com akan ‘berselancar’ ke berbagai kategori yang bervariasi, tujuannya tak lepas dari ajang memperluas wawasan fotografi. Artinya kita tidak mengkotak-kotakannya, apalagi menghakimi bahwa aliran fotografi ini lebih baik daripada aliran fotografi itu, lantas berpolemik panjang lebar karenanya. Foto yang baik, apapun aliran maupun kategorinya, adalah foto yang baik! (Jospeh A. B.)
Foto: Earthquake Victims. Location: Bantul, Yogyakarta, Central Java, Indonesia.
With 28 lens, exposure 1/250 sec. at f/4, ISO 400. Joseph Ali Budiman.
No comments:
Post a Comment