Saturday, 18 August 2007

WISATA FOTO DI AMERIKA [2]

KOMUNITAS INDONESIA DI PHILADELPHIA

Sebenarnya komunitas asal Indonesia tersebar di kota-kota ‘udik’ dari Negara Bagian Pensylvania, dari Scranton, Harisburg, ke timur lagi Pittsburg, sampai kota-kota yang berbatasan dengan Negara Bagian Ohio. Tapi ‘markas besar’ berada di Philadelphia, ini terlihat dengan jumlah mini market milik pendatang asal Indonesia yang tersebar di jalan bernomor belasan sampai duapuluhan, nama-nama toko yang akrab di telinga: Srikandi, Ramayana, di sepanjang Morris Street sendiri terdapat tiga toko dalam jarak di bawah 1 kilometer, Pandawa, Indonesia Store, dan Sarinah.

Dari mana saja pendatang asal Indonesia di Phila? Sama seperti jenis makanan dan barang yang dijual dalam mini market Nusantara tersebut, rendang Padang siap saji, bumbu rawon, rokok kretek, kartu telepon gesek ke ‘Indo’, buletin mingguan gratis bernama ‘Dunia Kita’, ‘Kabar Kilat’, fasilitas transfer dolar ke rupiah, pokoknya mini market lengkap dengan benang merah ke tanah air.

Di akhir pekan, beraneka logat daerah dapat terdengar di komunitas ini, mayoritas berbahasa Jawa Timuran yang diucapkan oleh saudara-saudara Tionghwa peranakan. Pada suatu Sabtu pagi, sekelompok engkoh dan encik berkaraoke dengan penuh antusias mendendangkan lagu-lagu Rinto Harahap, di antara kerumunan pembeli dalam mini market yang sengaja dipasangi DVD.

Ketika ada berita duka yang terkait dengan warga Indo, semua toko Indonesia menempelkan pengumuman lengkap dengan foto semasa hidup almarhum / almarhumah, dan disediakan kotak sumbangan bagi yang bersimpati, tak masalah ia mengenal secara pribadi atau sekedar rasa solidaritas sebagai sesama perantau setanah air.

Dalam percakapan sehari-hari mereka menyebut diri sendiri ‘Orang Indo’, dan karena hati-hati agar jangan menyinggung etnis lain, ada etiket untuk tidak menyebut ‘Orang N’ tapi ‘Orang Item’, ‘Orang Putih’, ‘Orang V’ (Vietnam), atau ‘Orang Boyan’ untuk komunitas Hispanic.
‘Guest Workers’ asal Indonesia secara fisik tak setinggi besar atau sekokoh rekan mereka yang ‘Boyan’, ‘Item’, atau ‘Orang Putih’, tapi Orang Indo terkenal sebagai pekerja patuh, dan punya daya tahan luar biasa dalam melakoni panjangnya jam kerja. Jam kerja normal adalah 40 jam seminggu, lima hari kali delapan jam. Pekerja mana lagi kalau bukan Orang Indo yang mau bekerja 6 hari seminggu, 12 jam sehari, bahkan (istilah di kalangan mereka sendiri ‘jual nyawa’) dengan double shift 16 jam sehari? Dari belasan ‘pekerja kerah biru’ dalam komunitas orang Indonesia yang diajak ngobrol, tak seorangpun yang mengatakan bahwa kehidupan mereka lebih nyaman di Amerika. Hati kecil mereka punya ikatan emosi sangat erat dengan tanah air. –“Sayang di Indo ndak mudah untuk cari uang, selagi ada kesempatan ya kumpulin dolar dululah buat modal. Jelek-jelek begini nanti kalau pulang Indonesia aku punya gelar M.B.A. lho, Mantan Buruh Amerika!”. (Joseph AB)

Friday, 17 August 2007

WISATA FOTO DI AMERIKA [1]

MURAL-MURAL DI BELANTARA PHILADELPHIA

Dengan selisih waktu 12 jam di belakang W.I.B., posisi jarum jam dari Jakarta sama persis dengan waktu Philadelphia, bedanya : siang hari bolong di Jakarta berarti tengah malam di ibu kota negara bagian Pensylvania ini. Kota ‘metropolitan moderen’ yang oleh penduduk lokal disingkat jadi ‘Philly’, sementara lidah kaum pendatang asal Indonesia lebih akrab menyebutnya dengan ‘Phila’, dibaca ‘fila’. Ketika lampu-lampu kota Phila mulai nampak bak ‘seribu kunang-kunang’ , Indra, sopir mobil carteran itu berujar: - “Seperti postcard, dari kejauhan Phila kelihatan cantik, tapi besok kalau bapak jalan-jalan di City akan tahu aslinya, kumuh”. Esok berikutnya, label yang diterakan pemuda ceking berasal dari Surabaya yang sudah 6 tahun ‘berkutat’, mendulang dolar di beberapa negara bagian Amerika itu terbukti: benar.

Dibandingkan dengan dua kota ‘berkilauan’ New York dan Washington D.C. yang mengapit dari utara dan selatan, Philadelphia punya sejarah lebih tua, menyimpan lebih banyak sejarah sebagai kota pusat lahirnya Amerika Serikat. Namun pada sisi lain, pesatnya perkembangan jaman mau tak mau telah menghibahkan predikat ‘metropolitan moderen’ kepada Philadelphia, perpaduan yang mengakibatkan identitas kota kelima terbesar di AS ini jadi serba samar-samar.

Banyak perkantoran jangkung menjulang di jantung kota, yang keberadaannya justru ‘terpaksa’ menghimpit arsitektur bersejarah, termasuk patung istimewa setinggi 11 meter dari William Penn (mendarat tahun 1628 dari Inggris), ia bertengger di puncak kubah sebuah gedung penuh ornamen, yang apabila punya ruang leluasa semestinya akan ‘bercerita’ lebih banyak. Panorama Sungai Delaware dan Sungai Schuylkill yang melingkar elok di utara kota hanya bisa dinikmati lewat sudut tertentu, jauh dari pusat kota. Kepentingan bisnis dalam era industri tercermin pada gedung-gedung pencakar langit yang dibangun dengan mengesampingkan sentuhan estetika, cenderung hanya berdasarkan kecerdasan teknologi manusia yang seakan berada pada distrik terpisah dari alam semesta.


Dari obrolan bersama Herald Basuki, insinyur alumni Universitas Tarumanegara yang pernah mengamati arsitektur kota Philadelphia, (juga kota-kota di sekitarnya seperti Pittsburgh, dan kota-kota di sepanjang Monongahela Valley) ia berkesimpulan : “Awalnya kaget juga sih, ternyata banyak kota di Amerika yang arsitekturnya telah sedemikian parah, tak terhitung jumlah bangunan di pinggiran kota yang kondisinya melapuk, istilah orang sini
deteriorate city, kuno tak terawat, suasana kota yang nyaris ditinggal penduduknya, tinggal tunggu waktu untuk diambrukkan. Contoh kongkrit di Phila lihat saja ke kawasan yang banyak dihuni orang-orang Indonesia, South Phila. Kondisi perkotaan yang gawat, langit bumi dibanding kota-kota kuno di Eropa yang masih terawat cantik ”.

Orang bebas memberi predikat bahwa kota New York itu menakjubkan, bagi pejalan kaki sekalipun banyak sudut yang dibuat untuk bisa menikmati keindahan kota, apakah itu di Manhattan atau di Bronx (asal sebelum matahari terbenam!). Washington D.C. bersih “baik-baik’, presidential dan sangat patriot. Dalam bis Philadelphia City Tour, serombongan wisatawan berbahasa Inggris ‘logat Perancis’ pernah bergurau dengan guide mereka; “Ayo antar kami tempat paling specific, kami butuh ‘semacam’ Patung Liberty, Manhattan, Gedung Putih, atau apalah namanya di Philadelphia ini!”.


Jalanan dalam kota Phila mudah dikenali, larik utara ke selatan pakai nomor, membujur barat ke timur nama-nama biasa. Namun yang banyak mencuri perhatian adalah banyaknya mural yang menghiasi permukaan tembok pada gedung-gedung di sepanjang jalan protokol maupun ‘pelosok’. Lukisan-lukisan dinding berukuran raksasa garapan serius para muralis handal ini bagaikan kosmetik, polesan indah menutupi ketuaan serta kekusaman yang terlanjur melekat pada perkotaaan yang banyak dimakan waktu dan cuaca.


Mural di Phila bisa mengisi ruang kosong mana saja, permukaan tembok ‘nganggur’ dari apartemen susun di kawasan berdesakan, lapangan parkir, atau di tepi jalan raya dekat lampu lalu lintas yang mudah dilirik penumpang kendaraan. Bahasa visual yang disajikan semuanya berkarakter realis: karikatur tokoh berprofesi tertentu ‘ora et labora’, profil artis-artis legendaris sarat aroma Italiano. Sampai mural dengan pesan akan pentingnya keragaman hayati dalam menciptakan ekosistim seimbang bagi kehidupan. Orang tak harus mengernyitkan dahi untuk menikmati sepotong ‘seni ruang publik’ di sela-sela belantara beton yang mengepungnya. Mungkin penciptanya sadar, bahwa mayoritas penikmat seni lukis ‘kanvas lebar’ ini hanya punya waktu singkat, yaitu duduk di atas jok mobil, jadi perlu suguhan yang mudah dicerna otak maupun perasaan. Berita baik lainnya adalah, tak ada satupun tangan jahil yang merusak atau ‘menganiaya’ mural dengan cara ditimpali grafiti liar, misalnya.

Baik disadari atau tidak, lukisan format raksasa bernama mural ini terekam dalam memori jutaan orang yang setiap hari berlalu lalang di sekitarnya. Mural tidak abadi, begitu pula bingkai waktu kehidupan, dan ketika segalanya berubah, memori akan mural dengan lukisan tertentu yang mengesankan, akan menganyam kenangan mengenai sebuah kota pada periode tertentu. Mural seperti sebuah oase sejuk di sela-sela belantara kota Philadelphia. (Joseph AB)

Foto (1) Mural Di Reed Street, juga foto (2) Sepedaan, hanya perlu kesabaran sejenak untuk menunggu obyek-obyek agar ikut ‘menghidupkan’ nuansa gambar, daripada suasana mural yang’ kosong’ doang. Demikian juga foto (4) Phila City, refleksi bangunan bersejarah dari sebuah etalase toko. Dua gadis kulit hitam yang membawa mannequin muncul mendadak di jalanan, penulis segera menyapa: ‘Hai girls! (3) Mannequin cantik ini itu mau diapakan?

Di Philadelphia Selatan banyak daerah slum/kumuh, di mana miras dan narkoba merupakan konsumsi sehari-hari, hati-hati memotret di kawasan seperti ini. Foto pemuda-pemuda sedang (5) Kongkow di rumah kosong ini penulis buat dengan cara ‘duduk istirahat dan minum soft drink’ di seberang jalan. Ketika ada mobil menghalangi pandangan, set kamera di balik plastik-plastik bungkus belanjaan, manfaat monitor yang bisa menghadap atas, kalau tidak ya pakai ilmu kira-kira. Begitu mobil berlalu segera ‘quick shot’, pada situasi tertentu jangan membidik dengan kepala tegak, bisa mengundang problem.


Tuesday, 7 August 2007

Pilih Bidang Yang Paling Memacu Adrenalin

Suatu saat ketika kita telah membulatkan tekad untuk memilih profesi atau berbisnis dalam dunia bidang fotografi, saat itu memang perlu bersikap, mulai mengkhususkan diri: kurang lebih aliran fotografi mana yang kita bidik. Rumus mencarinya: Minat dan antusias untuk menekuni secara mendalam yang berkesinambungan. Terutama ketika saraf rajin, pembuluh teliti, dan otot ulet kita diuji!

Misalnya kita berniat membuka wedding photo studio, maka pengetahuan mengenai tata lampu studio mutlak perlu dikuasai, termasuk mengarahkan pose-pose mesra yang sesuai dengan karakter klien, foto close up yang masih serumpun dengan fashion fotografi. Juga hal-hal yang kelihatan sepele tapi bisa jadi masalah besar jika terjadi lantaran ketidaktahuan, yaitu ‘etika-etika pergaulan yang beradab’, seperti aturan dalam mengatur pose, lebih-lebih lawan jenis, usahakan jangan sampai menyentuh bagian anggota tubuh manapun. Cukup arahkan dengan kata-kata atau peragaan, kalau mengatur tudung/waring (veil) atau ujung gaun pengantin agar terjuntai indah, sih ok. (Pelajaran pertama yang penulis terima ketika magang sebagai Wedding Photographer adalah mengatur gaun pengantin yang panjang-panjang, beserta asesoris lain: bunga tangan maupun perhiasan yang dikenakan kedua mempelai, semua harus rapi jali!) Dan kita perlu memahami psikologi sederhana cara pergaulan yang baik, terutama bagaimana bekerjasama dengan orang yang baru beberapa saat kita kenali. Sebaliknya Wedding Photographer yang tidak mengatur pose apapun bagi klien-nya, juga jangan deh, ini menunjukkan jam terbang yang masih pendek, ia perlu magang dulu dengan fotografer pengantin yang lebih senior! He he he...

Lain ceritanya kalau pilihan jatuh ke fotografer jurnalis. Kita pernah tercengang bukan, melihat di televisi bagaimana ‘kemelutnya’ para ‘Mat Kodak’ (istilah Ed Zoelverdi untuk Wartawan Foto), ketika memburu sumber berita yang kasusnya sedang heboh? Saking jengkelnya sang selebriti sampai menembakkan pistol ke udara untuk menghalau gerombolan ‘nyamuk-nyamuk pers’ yang mengerumuni dirinya!

Mirip dengan cerita Paparazy yang terpaksa melindungi wajah dan kepalanya dengan topi pemain softball, ketika akan memotret Marlon Brando (lagi), karena sebelumnya ia pernah babak belur dihajar oleh lelaki tangguh setinggi 2 meter lebih itu! Belasan tahun silam Mauro Carraro, Paparazy senior di kota London, dengan kamera Leica dan flash nya ‘menerjang’ apapun ketika mengejar anggota keluarga Kerajaan Inggris yang sedang dilanda ontran-ontran. Istilah mereka ‘The Jackpot Picture’, selembar foto heboh karya Mauro Carraro dihargai majalah gossip internasional sampai $ 170.000 ( + satu setengah milyar rupiah!).

Mat Kodak berusaha membawa perangkat kamera seringkas mungkin, sebab ia punya mobilitas tinggi. Manakala ada suatu adegan penting muncul di depan kamera, siapapun yang misalnya berdiri di posisi yang sama dengan Mat Kodak, ia bisa saja menekan tombol, dan klik! Maka ia mempunyai foto yang setali tiga uang dengan foto yang dibuat Mat Kodak. Tapi persoalannya bukan hanya di situ, di belakang fotografi jurnalis terdapat unsur-unsur pendukung sangat vital: bagaimana transportasi yang mengantarnya ke lokasi di ujung peritiwa, akomodasi selama bertugas, sarana pengiriman gambar ke kantor induk, perlukah kemampuan menulis berita? Atau didampingi penulis khusus? dan banyak lagi peng-organisasian yang perlu disiapkan Mat Kodak, termasuk yang tak kalah pentingnya: bagaimana keluar dengan selamat dari lokasi tugas, yang tak jarang merupakan daerah kritis. Sebelum meninggalkan kantor, editor Mat Kodak sering berteriak: “Hati-hati Bung! Kita perlu foto berita, bukan obituary!” (Obituary=berita duka/riwayat singkat dari seseorang yang meninggal dunia).

Setelah mengetahui beberapa kategori dalam fotografi, kita dapat lebih fokus kepada yang paling kita minati. Secara bertahap situs http://life-photoz.blogspot.com akan ‘berselancar’ ke berbagai kategori yang bervariasi, tujuannya tak lepas dari ajang memperluas wawasan fotografi. Artinya kita tidak mengkotak-kotakannya, apalagi menghakimi bahwa aliran fotografi ini lebih baik daripada aliran fotografi itu, lantas berpolemik panjang lebar karenanya. Foto yang baik, apapun aliran maupun kategorinya, adalah foto yang baik! (Jospeh A. B.)

Foto: Earthquake Victims. Location: Bantul, Yogyakarta, Central Java, Indonesia.
With 28 lens, exposure 1/250 sec. at f/4, ISO 400. Joseph Ali Budiman.

Monday, 6 August 2007

Manfaat Memperluas Wawasan Dalam Dunia Fotografi

Belajar sejarah maupun teknik fotografi lewat lokakarya, apalagi akademisi, tentu saja sangat bermakna. Mirip dengan belajar melukis, maju selangkah demi selangkah. Pelukis mula-mula mempelajari susunan anatomi tubuh manusia (atau hewan) secara benar. Sinar kuat yang datang dari arah kanan bawah akan menampilkan tonjolan bayangan yang tajam di sisi kiri wajah, karena raut wajah di dihiasi oleh tulang hidung, lekukan tulang pipi serta tulang rahang, nuansa seperti ini akan mendukung tampilan portrait dari sesosok wajah yang si pemiliknya berprofesi ‘keras’. Itu contoh ketika pemotret bisa bermain-main dengan letak sumber sinar guna mempertegas apa yang ingin diungkapkan.

Kini banyak sekali club-club fotografi, pilih yang cocok dan bergaulah dengan komunitas ini. Jangan segan untuk bertanya-tanya serta menunjukkan karya foto untuk didiskusikan. Percayalah ketika orang bijak berujar: seseorang yang selalu merasa dirinya paling hebat, ia jadi meremehkan semua orang, dan ini membuatnya tak maju-maju alias jalan di tempat! Lewat rekan-rekan di club foto, tak hanya pengetahuan soal ambil gambar saja yang bisa dipetik, kadangkala rekomendasi kerjaan, sampai informasi bursa peralatan fotografipun bisa jadi lahan menarik tersendiri. Banyak akses yang bisa dimanfaatkan lewat pergaulan dengan komunitas se-hobby se-penanggungan!

Kita pernah mendengar bukan, cerita fotografer jaman baheula yang tak teliti mengaitkan gerigi film 135 mm ke celah tabung penggulungnya, alhasil roll film itu kosong alias gagal semua? Bayangkan, malang sekali kalau hanya disebabkan oleh sifat keterburuan-buruan seperti ini, puluhan foto upacara pernikahan yang mustahil diulang menjadi ‘lenyap’ begitu saja, ini membuat susah banyak pihak, terutama sang fotografer sendiri!

Saran lain, serap informasi dari berbagai penjuru dunia, jangan segan membaca literature-literatur dasar sampai perkembangan mutahir fotografi.

Apabila dibandingkan dengan era-era sebelumnya, dapat dibilang kurun waktu belasan tahun belakangan, perkembangan teknologi industri digital secara pasti telah menggebrakkan perubahan yang luar biasa menakjubkan! Demikian pula dampak dramatis yang dialami teknologi fotografi. Sejak fotografi ditemukan (tahun 1827) sampai satu setengah abad kemudian (tahun 1990-an), film celluloid hitam putih, bewarna, dan slide warna masih merupakan ‘peluru-peluru’ esensial dari sebuah kamera. Setelah shooting, film/klise dikembangkan, baru bisa di cetak (slide diproyeksikan). Dengan kamera digital, sedetik setelah shooting kita langsung melihat bisa memeriksa tampilannya di layar monitor kamera!

Kita masih ingat bagaimana sibuknya ‘fotografer serius dengan tas besar’. Kami sering bercanda dengan bertanya: ‘Bung mau hunting foto atawa gelar kios kamera?’ Tas itu terisi setengah dozen lensa, 3 body-body kamera untuk film warna, film hitam putih, dan film slide warna, ditambah lagi sebuah kamera format medium kesayangan, celah-celah kosong dijejali klise ASA rendah sampai kepekaan tinggi, dan ah, asesorinya? belasan filter warna warni bertebaran! Kita patut berterimakasih kepada program Adobe Photoshop ketika mengingat beban yang mesti dipikul ‘tas besar tadi’!

Catatan lain adalah teratasinya urusan tusir menusir foto secara tradisional yang menyita jam-jam kerja panjang. Demikian juga misalnya otak-atik kamar gelap bernama ‘foto ortho’ yang pernah digemari, yaitu teknik memberi efek khusus pada latar belakang foto, agar obyek utama tampak menonjol, cara pengerjaannya ribet nian! Kini di Adobe Photoshop efek khusus seperti ‘ortho’ hanya salah satu dari ratusan fasilitas yang mudah diakses.

Logika sederhana saja, bukankah ini berarti teknologi fotografi digital telah ‘mengambil alih’ industri fotografi analog? Apabila kurang cepat adaptasinya terhadap era fotografi digital yang berlangsung di ujung abad 21 itu, kita dapat membayangkan bagaimana ‘kemelut’ yang dihadapi industri fotografi analog.

Lantas sekarang bagaimana dengan fotografer di era kamera digital? Seriuskah memahami segala fitur-fitur (fasilitas-fasilitas) yang disediakan kamera kesayangan, yang keberadaannya jelas mempermudah kita dalam membuat foto? Teknologi selalu mengalir ke arah yang semakin canggih, dan ia menuntut kita untuk mengendalikannya dengan benar dan baik! Indikasi yang paling kentara adalah ketika sang kamera seolah-olah telah menjadi bagian tubuh sendiri, ‘di lapangan’ ia siap merekam adegan apapun yang bakal muncul. Sementara pikiran lebih konsentrasi ke arah obyek, moment, atau ada yang yang lebih nyaman menyebutnya dengan istilah ‘isi foto’. (Joseph AB)

Foto: SHOPPING -Penulis buat di dalam sebuah supermarket di kota kecil Charleroi, Pensylvania, USA. Membawa kamera saku ber-resolusi memadai (atau ponsel berkamera), sangat bermanfaat ketika muncul obyek menarik pada saat yang tak terduga.

Friday, 3 August 2007

Kategori Dalam Fotografi

“Foto saja…asal menurut Anda adegan itu menarik!”, Resep ini saya pikir cukup cespleng bagi fotografer yang sedang bingung, seperti menengadah ke atas papan petunjuk jalan 8 penjuru, ya di sana tertera aneka aliran dalam bidang fotografi.

Mari kita amati sebentar aliran tersebut. Kalau diibaratkan sebuah pohon, sebenarnya ia terdiri atas 2 buah batang, yaitu foto di dalam ruang (indoor photography) dan foto di ruang terbuka atau alam terbuka. Perbedaannya nyaris berdasarkan lokasinya bukan? Memotret dalam ruangan berarti kita tidak hanya mengandalkan sebuah kamera saja, ia perlu sumber sinar buatan seperti blitz (flash) atau lampu studio.

Lantas bagaimana apabila kita memotret di dalam ruang tapi tanpa lampu buatan? Ya berarti Anda pasti memanfaat sinar dari jendela atau pintu yang terbuka. Penyinaran jenis begini hasilnya bisa sangat dramatis, tapi karena sinarnya minim kita perlu men-set ASA/IS0 (Kepekaan Film) ke angka yang tinggi, 800 ASA atau lebih. Bantuan lain ialah mempergunakan monopod atau tripod.

Sekarang beralih ke pemotretan di ruang terbuka. Baikah memotret di alam terbuka pakai lampu studio, misalnya? Tentu saja tidak dilarang, banyak pemoteratan fashion dibantu lampu studio, gunanya memperjelas fokus ke arah wajah atau pakaian sang model.

Dari ke dua tipe suasana pemotretan di atas, maka muncunlah berbagai cabang serta ranting aliran fotografi yang demikian banyak… sebut saja dari yang setiap hari paling banyak kita konsumsi: foto jurnalis, landscape, pictorial, desain, fashion (iklan), arsitektur, flora fauna, nature, surealis, kontemporer (di Asia lihat fotografer-fotografer asal negeri China yang karyanya sudah masuk musium internasional), portrait dan seterusnya. Daftar ini kalau diperpanjang bias-bisa membuat kita pusing tujuh keliling dan batal berburu foto, pasal tak bisa menentukan di aliran fotografi mana kita mesti berpijak?

Tak usah khawatir friends! Langkah awalnya tetap: potretlah yang Anda anggap menarik! Dan yang menarik perhatian kita biasanya sesuatu yang ‘aneh’, lain daripada yang umum. Baik itu berupa obyek-obyek hidup, bangunan, peristiwa-peristiwa di sekitar tempat tinggal atau komunitas terdekat. Apalagi ketika berkesempatan berpetualang dengan kamera ke kota atau malah negeri lain! (Joseph AB)

Foto: URBAN LIFE. Lokasi: Monas, Jakarta. Termasuk kategori foto ‘Kehidupan Sehari-hari’ atau bisa juga ‘Humant Interest’. Data Teknis: Lensa 24 mm, exposure 1/125 sec. at f/5,6, Slide Warna ASA 100.

Bengkel Foto

Blog ini akan menjadi sebuah ‘Bengkel Foto’, dimana Anda bisa mengirimkan karya foto untuk dianalisis dan ‘dirapikan’, lewat sarana kritik bersifat membangun. Jadi, kirimkan foto maupun hyperlink foto Anda, jangan lupa tuliskan: nama lengkap, status diri Anda, lokasi pemotretan, data teknis, serta caption singkat. Demikian pula untuk tanya jawab, komentar, saran, kritik atau opini dari Anda. Kirim ke: ali.budiman.photo@gmail.com Saya tunggu ya!!

Selamat Datang Life Photos

‘Life Photography, Photography For Living’

Foto-foto Kehidupan, dan Hidup dari Fotografi, demikian semboyan dari situs yang sedang Anda amati ini. Blog cocok untuk Anda yang masih sekedar peminat pemula, ‘fotografer amatir serius’, ataupun fotografer profesional.

Yang penting Anda mencintai dunia fotografi. Mungkin awalnya sekedar mengenali, mengamati, bertanya-tanya, saling belajar. Syukur-syukurlah, apabila kemudian Anda dapat memperoleh manfaat serta peluang yang memberi ‘penghasilan lain’ lewat informasi-informasi di dalam situs http://life-photoz.blogspot.com/